Refleksi Kebijakan Pendidikan Akhir Tahun

Written By Dhani oktaviar on Thursday, January 5, 2012 | 10:01 AM

Oleh : H. Raihan Iskandar, Lc., MM *)

SELAMA tahun 2011 ini, berbagai pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan nasional patut dievaluasi secara kritis. Berbagai data statistik menyebutkan, capaian kinerja pemerintah di bidang pendidikan tak menunjukkan hasil yang signifikan.
Salah satu data statistik yang memperlihatkan capaian kinerja Pemerintah di bidang pendidikan ialah Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Karena, salah satu komponen yang dinilai ialah dimensi pendidikan yang mengukur tingkat baca tulis pada orang dewasa dan angka partisipasi kasar jenjang SD, SMP, dan SMA. 

Menurut laporan UNDP tahun 2010 dan 2011, nilai IPM Indonesia sedikit mengalami kenaikan dari 0,600 di tahun 2010 menjadi 0,617 di tahun 2011. Akan tetapi, peringkat IPM Indonesia justru mengalamai penurunan, yaitu dari peringkat 108 di tahun 2010 menjadi peringkat 124 di tahun 2011. 

Ini berarti, upaya pemerintah, khususnya di bidang pendidikan, masih berjalan lambat di bandingkan dengan capaian negara lain. Berdasarkan data Kemdikbud, sampai saat ini APK untuk tingkat SD telah mencapai 117%. Sementara, tingkat SMP mencapai 70-80% dan SMA baru mencapai 60%.
Laporan UNESCO tahun 2011 ini pun memperlihatkan kinerja pendidikan Indonesia yang tidak menggembirakan. Peringkat Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang menempati peringkat 65 menjadi peringkat ke-69 dari 127 negara. 

Data UNESCO ini menyebut, turunnya peringkat Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Terdapat sekitar 10,268 juta siswa SD dan SMP (usia wajib belajar) yang tidak menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP. 

Sementara, terdapat sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Faktor utama yang menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah adalah ketidakmampuan masyarakat memenuhi biaya pendidikan anak-anak mereka. Kemiskinan menjadi sebab utama angka putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. 

Data Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas (sekarang Kemdikbud) menyebut saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta. Sementara, data BPS tahun 2011 menyebut, terdapat 30,02 juta masyarakat miskin dengan kriteria pendapatan Rp.600 ribu/bulan.  
Masih tingginya angka putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, menunjukkan masih terbatasnya akses pendidikan yang terjangkau dan bermutu bagi semua warga negara usia sekolah. Padahal, dari tahun ke tahun, anggaran pendidikan nasional telah mengalami kenaikan signifikan. 

Tahun 2010, APBN sektor pendidikan mencapai Rp225 triliun. Sementara, tahun 2011 mencapai angka Rp249 triliun. Untuk tahun 2012 nanti, APBN pendidikan dialokasikan sekitar Rp286 triliun. Dana BOS, sebagai instrumen yang menopang Program wajib belajar 9 tahun pun telah ditingkatkan   sebelumnya Rp16 triliun tahun 2011 meningkat menjadi Rp23 triliun tahun 2012 nanti.
Nyatanya, kenaikan anggaran BOS tidak bisa mencegah dari praktek pungutan yang masih marak terjadi. Kenaikan anggaran pendidikan yang signifikan ternyata tidak berbanding lurus dengan upaya penghentian siswa putus sekolah. 

Ironisnya, berbagai kebijakan pemerintah justru turut berkontribusi terhadap penutupan akses pendidikan yang terjangkau dan bermutu. Pemerintah terkesan membiarkan berbagai komersialisasi dan pungutan yang marak terjadi di dunia pendidikan. 

Inilah yang membuat masyarakat miskin tak mampu menikmati layanan pendidikan. Dilain pihak, pemerintah justru membuat beberapa kebijakan yang menghambat akses layanan pendidikan bagi masyarakat. Kebijakan itu pun hanya bersifat asesoris. 

Misalnya, Kebijakan Pemerintah soal Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah terkesan hanya ingin memperlihatkan kemewahan dan kemegahan bangunan fisik. 

Lebih dari itu, pemerintah pun "melindungi" kebijakan asesoris ini dengan membuka celah pungutan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional, khususnya pasal 16 ayat (1). 

Oleh karena itu, kebijakan asesoris ini sangat berpotensi menghambat penuntasan program wajib belajar 9 tahun, karena menghambat siswa miskin atas layanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Alhasil, RSBI pun menjadi sarana seleksi status sosial dan menciptakan segregasi sosial di kalangan masyarakat. 
Kebijakan lain yang bertentangan dengan semangat wajib belajar 9 tahun ialah Ujian Nasional (UN). Penetapan nilai UN sebagai dasar seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya dari SD ke SMP dan SMA, berpotensi menghambat akses ke jenjang pendidikan berikutnya. Umumnya, siswa yang memiliki sarana dan fasilitas yang memadai yang mampu memperoleh nilai tinggi. Sementara, siswa miskin yang miskin sarana dan prasarana harus tersingkir.
Ironisnya, fakta di lapangan menunjukkan, tingginya nilai UN, tidak berkorelasi terhadap kualitas pendidikan secara umum. Banyak rekayasa terjadi untuk menghasilkan nilai UN yang tinggi. Kecurangan terjadi secara massif dan sistemik. Alhasil, nilai UN yang tinggi hanya bersifat semu dan fatamorgana.
Di luar kebijakan tersebut, berbagai kasus lain di dunia pendidikan seperti tawuran pelajar dan mahasiswa, kasus-kasus moral yang melibatkan siswa dan juga guru, menjadi indikasi semakin tidak jelasnya desain pendidikan.

Padahal, tujuan penyelenggaraan pendidikan sudah tertera secara jelas dalam UU Sisdiknas Pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kasus lainnya, mekanisme penyaluran dana BOS 2011 yang tidak tepat waktu dan pengelolaan serta penggunaannya yang tidak transparan dan tidak tepat sasaran, menunjukkan tidak siapnya birokrasi dan rendahnya kapasitas aparat penyelenggara di lapangan. Ini sekaligus menunjukkan gagalnya reformasi birokrasi yang selama ini didengungkan oleh pemerintah.
Berbagai capaian dan desain kebijakan pendidikan, serta kasus-kasus yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional, memperlihatkan kepada kita bahwa pemerintah telah kehilangan orientasi dalam  menyelenggarakan kegiatan pendidikan. 

Pemerintah sepertinya tak mengerti harus kemana tujuan pendidikan ini diarahkan. Kebijakan yang satu bertentangan dan dihambat oleh kebijakan pemerintah yang lainnya. 
Oleh karena itu, Pemerintah harus segera melakukan evaluasi secara menyeluruh menyangkut kebijakan nasional pendidikan dan memiliki orientasi serta prioritas yang jelas dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pendidikan nasional. 

Pemerintah harus fokus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menikmati layanan pendidikan, secara adil, tanpa diskriminasi. Pemerintah juga harus mengikis berbagai kebijakan yang justru menghambat dan bertentangan dengan semangat program wajib belajar dan hak rakyat atas pendidikan yang bermutu dan terjangkau. 
*) Penulis adalah Anggota Komisi X F-PKS DPR RI, Editor : esb/j
sumber : http://www.sumbaronline.com/berita-8210-refleksi-kebijakan-pendidikan-akhir-tahun-.html

1 comment:

Unknown said...

If you're trying hard to lose weight then you certainly need to get on this totally brand new custom keto plan.

To create this keto diet, certified nutritionists, fitness couches, and professional chefs have united to produce keto meal plans that are powerful, painless, money-efficient, and satisfying.

From their first launch in January 2019, hundreds of individuals have already transformed their figure and health with the benefits a professional keto plan can offer.

Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover eight scientifically-certified ones provided by the keto plan.

Post a Comment