Powered By Blogger
free counters

Followers

Memahami Kebutuhan Emosional Anak

Written By Dhani oktaviar on Thursday, January 5, 2012 | 10:16 AM

Pada bagian sebelumnya kita telah mempelajari bahwa anak dan remaja lebih dikendalikan oleh emosi-emosi mereka daripada pemikiran rasional dan logis. Emosi ini menjelaskan mengapa anak dan remaja berperilaku demikian, termasuk perilaku yang merusak diri sendiri. Jadi jika kita ingin memotivasi mereka, sebaiknya kita pahami lebih dulu emosi yang mengendalikan mereka dan memanfaatkannya untuk mengarahkan perilaku dan pemikiran yang lebih memperdayakan.
Berikut adalah ketiga kebutuhan emosional anak:

1. Kebutuhan untuk merasa AMAN
Salah satu kebutuhan terkuat yang dibutuhkan soerang anak adalah perasaan aman. Aman didalam diri dan lingkungannya. Remaja mencari rasa aman dengan bergabung dengan sekelompok “geng” atau sekumpulan teman sebaya mereka, terlibat aturan sosial diantara mereka, serta meniru perilaku temannya.
Seorang psikolog Dr. Gary Chapman, dalam bukunya “lima bahasa cinta” mengatakan kita semua memiliki tangki cinta psikologis yang harus diisi, lebih tepatnya jika anak maka orangtuanya yang sebaiknya mengisi. Anak yang tangki cintanya penuh maka dia akan suka pada dirinya sendiri, tenang dan merasa aman. Hal ini dapat diartikan sebagai anak yang berbahagia dan memiliki “inner” motivasi.
Perlukah kita mempelajari dan mengetahui tangki cinta? Sangat perlu, saya seringkali merekomendasi para guru dan orangtua untuk mempelajari dan menemukan bahasa cinta anak mereka, dirinya dan pasangannya. Hal ini akan saya bahas pada artikel berikutnya).
Contoh, terdorong oleh rasa cinta kepada anaknya seorang ibu memarahi anaknya yang sedang bermain computer. “berhenti maen computer dan belajar sekarang” lalu apa yang ada dibenak anak? Mungkin “Hmpf… Ibu tidak sayang padaku, dan ingin mengendalikan aku serta keasyikanku” Nah, anak menerimanya sebagai hal yang negatif, komunikasi yang menghancurkan rasa cinta ini biasanya yang menjadi akar permasalahan orangtua dan anak, serta guru.

“Mencintai anak tidak sama dengan anak merasa dicintai”

Apa yang menyebabkan kebutuhan akan rasa aman tidak terpenuhi?

• Membandingkan anak dengan saudara atau orang lain
Ketika kita mengatakan “mengapa kamu tidak bisa menjaga kebersihan kamar seperti kakakmu”, “kenapa kamu tidak bisa menulis serapi Rudi”. Akan tumbuh perasaan ditolak, tidak diterima, mereka akan berpikir “papa/mama lebih suka dengan…” hal ini menumbuhkan sikap tidak suka dengan dirinya sendiri dan ingin menjadi orang lain. Mereka merasa aman dengan menjadi orang lain, bukan merasa aman dan nyaman menjadi dirinya sendiri.

• Mengkritik dan mencari kesalahan
Ketika kita mengatakan: “dasar anak bodoh, apa yang salah denganmu? Kenapa kamu tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar?”
Dapat dipastikan, akan menimbulkan perasaan dendam, tidak ada rasa aman dilingkungan rumah (jika hal ini sering terjadi dirumah).

• Kekerasan fisik dan verbal
Saya rasa tidak perlu dijelaskan lagi, hal ini sudah banyak kita temui di surat kabar dan berita ditelevisi, dan bahayanya atau akibatnya juga sering kita temui di media tersebut. Jika tidak ada rasa aman dalam rumah, maka seorang anak akan mencari perlindungan untuk memenuhi rasa aman mereka disemua tempat yang salah. Dan anak akan melakukan apa saja untuk mendapatkan rasa aman ini, mencari perhatian dengan cara yang salah.

2. Kebutuhan akan pengakuan (merasa penting) dan diterima atau dicintai
Jarang sekali orangtua membuat anak-anak mereka merasa penting dan diakui dirumah. Sebaliknya banyak orangtua yang membuat anak mereka merasa kecil dan tidak berarti dengan ancaman: “lebih baik kerjakan PR-mu sekarang, atau…”
Apa yang ada dalam pikiran anak jika diperlakukan seperti itu? Kita orangtua justru senang jika anak melakukan hal yang kita perintah, tapi yang ada dipikiran anak adalah mereka merasa kalah dengan melakukan apa yang diperintahkan orangtua dengan cara seperti itu. Sehingga banyak anak yang menunda atau tidak mengerjakan apa yang ditugaskan orangtua (bahkan dengan ancaman sekalipun) untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya akan pengakuan.
Peringatan keras bagi orangtua: Jika anak-anak tidak merasa dicintai dan diterima oleh orangtua, mereka akan terdorong untuk mencarinya disemua tempat yang salah.
Keinginan seorang anak untuk diakui dan ingin dicintai begitu kuat, sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Jika mereka tidak mendapat pengakuan dengan cara yang benar maka akan menemukan dengan cara yang salah dan ditempat yang salah. Kebutuhan ini mendorong beberapa anak dan remaja untuk menggunakan tato, mengganggu anak lain, bergabung dengan geng pengganggu, mengecat rambut dengan warna menyolok, bertingkah laku seperti badut dan pelawak. Hal ini umumnya menyusahkan mereka sendiri, tetapi demi mendapatkan pengakuan dan diterima (mendapatkan perhatian).
Ada kasus ekstrim pada 16 april 2007, seorang siswa US Virginia Tech, Cho Seng-hui. Menembak dan menewaskan 32 siswa. Apa yang mendorong perilaku tersebut, sehingga dia melakukan hal yang begitu luar biasa gila? Dia melakukan hanya karena kebutuhan pengakuan dan rasa pentingnya begitu besar, tetapi tidak terpenuhi oleh orang-orang yang mengabaikannya dan menghinanya. Hal itu memaksanya keluar dari dunia logika dan merenggut nyawa orang lain serta dirinya sendiri, dalam pikirannya dia berpikir lebih baik mati bersama nama buruk dari pada hidup bukan sebagai siapa-siapa.

3. Kebutuhan untuk mengontrol (merasa mandiri atau keinginan untuk mengontrol)
Seiring pertumbuhan anak, sembari mencari identitas diri dan sambil belajar membangun kemandirian dari orangtua. Proses ini menciptakan kebutuhan emosional untuk bebas dan mandiri.
Jadi itu sebabnya anak tidak mau didikte untuk apa yang harus dilakukan. Mereka merasa tidak “gaul” mendengarkan orangtua. Dengan mendengarkan nasihat orangtua mereka seakan diperlakukan seperti anak kecil. Ini menjelaskan mengapa anak lebih mendengarkan teman mereka dan om atau tante (paman atau bibi) yang masih muda dari pada orangtuanya sendiri.
Orangtua yang cerdas, tidak akan menyerah menghadapi hal ini. Bagaimana caranya memberikan arahan dan agar anak mau mendengar orangtua? Gunakan komunikasi yang tidak bermaksud memaksa anak dengan nasihat kita. Buatlah seakan-akan mereka belajar dan bekerja keras untuk diri mereka sendiri bukan untuk kita. mereka akan lebih bersemangat dan termotivasi dengan cara seperti itu. Dan yang terpenting adalah memenuhi tangki cinta anak kita setiap hari dan memastikan selalu penuh saat bangun anak bangun tidur dan menjelang tidur. Dengan begitu anak tahu siapa yang paling mengerti dan sayang, serta kepada siapa dia akan datang pada saat membutuhkan seseorang untuk mendengar, yaitu kita orangtuanya.
Ambilah manfaat dari informasi ini, kenali kebutuhan emosi anak kita. Pekalah dimana saat anak membutuhkan penerimaan, kebutuhan untuk mengontrol sesuatu, serta butuh untuk aman. Gunakan kata-kata yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut, berikut tips dan cara memenuhi kebutuhan emosi dasar seorang anak:

1. Rasa aman:
• Tenang sayang kamu aman bersama papa, mama akan temani kamu, hey… papa disini bakal jaga kamu sayang

2. Rasa penerimaan atau dicintai:
• Biasakan menatap mata saat berbicara pada anak, usahakan tatapan mata adalah datar atau “mata sayang”
• Sentuh bagian bahu saat berbicara atau bagian manapun asal sopan, untuk menunjukan bahwa kita ada bersama dan dekat dengan anak
• Usahakan sejajar (berdiri sejajar dengan anak atau berlutut)
• Katakan: apapun yang terjadi papa/mama tetap sayang sama kamu, kamu tetap jagoan papa/mama, dimata papa/mama kamulah yang paling cantik

3. Kebutuhan untuk mengontrol:
• Jika memungkinkan, jika anda melihat anak anda perlu untuk melakukan sesuatu sendiri maka ijinkanlah
• Sebenarnya itu adalah proses belajar untuk dirinya sendiri dan akan sangat bermanfaat dimasa dewasa
• Harga diri anak akan semakin tinggi, jika kita rajin memberikan kontrol kepada anak, karena anak merasa mampu melakukan kegiatan tanpa bantuan (tentunya kegiatan yang aman sesuai dengan kebijaksanaan orangtua)
• Luangkan waktu khusus untuk beraktivitas dan memberikan kontrol dan mengawasinya dengan kasih sayang, misal: anak umur 2-3 tahun minta makan sendiri, pergi ke sekolah sendiri, dan lain-lain

10:16 AM | 0 comments | Read More

Refleksi Kebijakan Pendidikan Akhir Tahun

Oleh : H. Raihan Iskandar, Lc., MM *)

SELAMA tahun 2011 ini, berbagai pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan nasional patut dievaluasi secara kritis. Berbagai data statistik menyebutkan, capaian kinerja pemerintah di bidang pendidikan tak menunjukkan hasil yang signifikan.
Salah satu data statistik yang memperlihatkan capaian kinerja Pemerintah di bidang pendidikan ialah Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Karena, salah satu komponen yang dinilai ialah dimensi pendidikan yang mengukur tingkat baca tulis pada orang dewasa dan angka partisipasi kasar jenjang SD, SMP, dan SMA. 

Menurut laporan UNDP tahun 2010 dan 2011, nilai IPM Indonesia sedikit mengalami kenaikan dari 0,600 di tahun 2010 menjadi 0,617 di tahun 2011. Akan tetapi, peringkat IPM Indonesia justru mengalamai penurunan, yaitu dari peringkat 108 di tahun 2010 menjadi peringkat 124 di tahun 2011. 

Ini berarti, upaya pemerintah, khususnya di bidang pendidikan, masih berjalan lambat di bandingkan dengan capaian negara lain. Berdasarkan data Kemdikbud, sampai saat ini APK untuk tingkat SD telah mencapai 117%. Sementara, tingkat SMP mencapai 70-80% dan SMA baru mencapai 60%.
Laporan UNESCO tahun 2011 ini pun memperlihatkan kinerja pendidikan Indonesia yang tidak menggembirakan. Peringkat Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang menempati peringkat 65 menjadi peringkat ke-69 dari 127 negara. 

Data UNESCO ini menyebut, turunnya peringkat Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Terdapat sekitar 10,268 juta siswa SD dan SMP (usia wajib belajar) yang tidak menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP. 

Sementara, terdapat sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Faktor utama yang menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah adalah ketidakmampuan masyarakat memenuhi biaya pendidikan anak-anak mereka. Kemiskinan menjadi sebab utama angka putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. 

Data Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas (sekarang Kemdikbud) menyebut saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta. Sementara, data BPS tahun 2011 menyebut, terdapat 30,02 juta masyarakat miskin dengan kriteria pendapatan Rp.600 ribu/bulan.  
Masih tingginya angka putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, menunjukkan masih terbatasnya akses pendidikan yang terjangkau dan bermutu bagi semua warga negara usia sekolah. Padahal, dari tahun ke tahun, anggaran pendidikan nasional telah mengalami kenaikan signifikan. 

Tahun 2010, APBN sektor pendidikan mencapai Rp225 triliun. Sementara, tahun 2011 mencapai angka Rp249 triliun. Untuk tahun 2012 nanti, APBN pendidikan dialokasikan sekitar Rp286 triliun. Dana BOS, sebagai instrumen yang menopang Program wajib belajar 9 tahun pun telah ditingkatkan   sebelumnya Rp16 triliun tahun 2011 meningkat menjadi Rp23 triliun tahun 2012 nanti.
Nyatanya, kenaikan anggaran BOS tidak bisa mencegah dari praktek pungutan yang masih marak terjadi. Kenaikan anggaran pendidikan yang signifikan ternyata tidak berbanding lurus dengan upaya penghentian siswa putus sekolah. 

Ironisnya, berbagai kebijakan pemerintah justru turut berkontribusi terhadap penutupan akses pendidikan yang terjangkau dan bermutu. Pemerintah terkesan membiarkan berbagai komersialisasi dan pungutan yang marak terjadi di dunia pendidikan. 

Inilah yang membuat masyarakat miskin tak mampu menikmati layanan pendidikan. Dilain pihak, pemerintah justru membuat beberapa kebijakan yang menghambat akses layanan pendidikan bagi masyarakat. Kebijakan itu pun hanya bersifat asesoris. 

Misalnya, Kebijakan Pemerintah soal Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah terkesan hanya ingin memperlihatkan kemewahan dan kemegahan bangunan fisik. 

Lebih dari itu, pemerintah pun "melindungi" kebijakan asesoris ini dengan membuka celah pungutan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional, khususnya pasal 16 ayat (1). 

Oleh karena itu, kebijakan asesoris ini sangat berpotensi menghambat penuntasan program wajib belajar 9 tahun, karena menghambat siswa miskin atas layanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Alhasil, RSBI pun menjadi sarana seleksi status sosial dan menciptakan segregasi sosial di kalangan masyarakat. 
Kebijakan lain yang bertentangan dengan semangat wajib belajar 9 tahun ialah Ujian Nasional (UN). Penetapan nilai UN sebagai dasar seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya dari SD ke SMP dan SMA, berpotensi menghambat akses ke jenjang pendidikan berikutnya. Umumnya, siswa yang memiliki sarana dan fasilitas yang memadai yang mampu memperoleh nilai tinggi. Sementara, siswa miskin yang miskin sarana dan prasarana harus tersingkir.
Ironisnya, fakta di lapangan menunjukkan, tingginya nilai UN, tidak berkorelasi terhadap kualitas pendidikan secara umum. Banyak rekayasa terjadi untuk menghasilkan nilai UN yang tinggi. Kecurangan terjadi secara massif dan sistemik. Alhasil, nilai UN yang tinggi hanya bersifat semu dan fatamorgana.
Di luar kebijakan tersebut, berbagai kasus lain di dunia pendidikan seperti tawuran pelajar dan mahasiswa, kasus-kasus moral yang melibatkan siswa dan juga guru, menjadi indikasi semakin tidak jelasnya desain pendidikan.

Padahal, tujuan penyelenggaraan pendidikan sudah tertera secara jelas dalam UU Sisdiknas Pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kasus lainnya, mekanisme penyaluran dana BOS 2011 yang tidak tepat waktu dan pengelolaan serta penggunaannya yang tidak transparan dan tidak tepat sasaran, menunjukkan tidak siapnya birokrasi dan rendahnya kapasitas aparat penyelenggara di lapangan. Ini sekaligus menunjukkan gagalnya reformasi birokrasi yang selama ini didengungkan oleh pemerintah.
Berbagai capaian dan desain kebijakan pendidikan, serta kasus-kasus yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional, memperlihatkan kepada kita bahwa pemerintah telah kehilangan orientasi dalam  menyelenggarakan kegiatan pendidikan. 

Pemerintah sepertinya tak mengerti harus kemana tujuan pendidikan ini diarahkan. Kebijakan yang satu bertentangan dan dihambat oleh kebijakan pemerintah yang lainnya. 
Oleh karena itu, Pemerintah harus segera melakukan evaluasi secara menyeluruh menyangkut kebijakan nasional pendidikan dan memiliki orientasi serta prioritas yang jelas dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pendidikan nasional. 

Pemerintah harus fokus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menikmati layanan pendidikan, secara adil, tanpa diskriminasi. Pemerintah juga harus mengikis berbagai kebijakan yang justru menghambat dan bertentangan dengan semangat program wajib belajar dan hak rakyat atas pendidikan yang bermutu dan terjangkau. 
*) Penulis adalah Anggota Komisi X F-PKS DPR RI, Editor : esb/j
sumber : http://www.sumbaronline.com/berita-8210-refleksi-kebijakan-pendidikan-akhir-tahun-.html
10:01 AM | 1 comments | Read More