Fenomena siswa senang ketika gurunya berhalangan hadir di kelas, apalagi kalau tanpa ada tugas yang harus diselesaikan. Siswa kebanyakan seperti itu. Lebih aneh kalau mereka siswa setingkat SMA. Apakah mereka belum berpikir betapa ruginya jika ada guru berhalangan tidak hadir. Tidakkah mereka sudah harus memikirkan untung ruginya selama mencari ilmu? Apalagi jika gurunya adalah guru dan mata pelajaran yang tidak disukai siswa.
Sekolah tidak terlalu banyak memberikan pilihan bagi siswanya dan memang banyak alasan untuk tidak memberikan pilihan itu. Pelajaran diberikan dengan sistem mau tidak mau harus mau. Pelajaran tanpa ada pilihan. Sampai ada mata pelajaran yang tidak disuka siswa. Apalagi kalau yang mengajar tidak ‘menarik’. Pada akhirnya pelajaran itu diterima sambil menyanyikan lagu Rhoma Irama, ‘sungguh terpaksa…’
Selama ini sekolah hanya menjalankan amanah kementerian pendidikan via kurikulum. Meskipun dalam bahasa tulisnya sekolah bebas mengembangkannya tetapi ada kewajiban harus ada ini dan itu. Orientasi belajar bukan lagi ilmu, tapi lulus UN. Tidak ada cara lain harus bisa menembusnya agar lolos dari penjara sekolah. Sekolah di negeri ini kebanyakan (mungkin semua?) bukanlah tempat yang menyenangkan. Tapi sekedar tempat mencari ilmu semu yang hanya memberikan kulit tanpa isi dan sari dari ilmu itu.
Kerunyaman sekolah diperparah hadirnya guru-guru yang tak berkompeten namun mengantongi sertifikasi guru yang diperolehnya hanya memenuhi syarat administrasi saja. Siswa semakin dangkal keilmuannya. Nilai atau hasil belajarnya hanyalah berupa kepantasan, normatif, alias tidak mencerminkan kondisi kemampuan siswa. Hal itu terbukti dengan banyaknya hasil uji coba UN yang sangat jauh dari harapan.
Guru tak berkompeten hadir di sekolah bukanlah keinginan kepala sekolah atau orang tua siswa. Mereka tak memiliki sedikitpun kewenangan menolak atau meminta, tak ada pilihan. Ini berlaku pada sekolah dengan status negeri. Inilah kondisi nyata di mana pihak sekolah (negeri) tidak turut dalam penentuan kelayakan seorang guru di institusinya. Beda dengan sekolah non-negeri, mereka bebas mencari guru-guru sesuai dengan visi dan misi sekolah.
Terbalik dengan kondisi guru, saat penerimaan siswa, ada calon siswa yang ditolak atau diterima oleh sekolah. Siswa yang tak memenuhi kriteria sederetan nilai atau hasil tes ditolak, yang diterima yang bagus-bagus saja. Ini tidak adil dan tidak manusiawi. Kompetensi guru tak-kan teruji kalau hanya mengajar siswa cerdas dengan bekal cukup. Tidak ada tantangan uji kesaktian seorang guru. Sementara siswa yang kurang terpinggirkan masuk kepada sekolah ‘pinggiran’.
Semakin tinggi jenjang persekolahan dituntut kemandirian. Kemandirian dalam belajar. Tapi level sma yang berada di tengah dengan kadar siswa ‘ndewasani’ sedikit dan karena banyak gurunya juga kurang ‘ngguru’ membuat karakter persekolahan jadi kekanak-kanakan. Setiap ada ‘jam kosong’ siswa laki-laki main bola, siswa perempuan ngerumpi gak jelas juntrungannya. Inilah satu potret persekolahan. Kenapa bisa seperti itu, pembaca sudah bisa menduganya kan?!
Keadaan di mana siswa sma dengan lingkungan seperti arena bermain, laksana anak tk/sd bukanlah cerminan sekolah yang dalam teori semestinya ada dalam dunia belajar. Mengapa itu terjadi? Ternyata setelah ditelisik akar masalahnya ada pada mental para guru plus kepala sekolah yang tidak bisa mengkondisikan pada atmosfer belajar. Guru yang semena-mena tidak mengajar dengan alasan yang tak logis itulah salah satu penyebabnya.
Sekolah yang ‘runyam’ biasanya tidak atau belum memberikan sarana pendukung belajar di luar kelas yang memadai. Perpustakaan yang tak terkelola dengan baik, variasi isi dan jumlah eksemplar buku tidak sebanding, salah fungsinya perpustakaan jadi ruang belajar. Keberadaan akses internet sebagai gerbang ilmu pun tidak dioptimalkan siswa, juga soal keterbatasan ruang, dan perangkat kerasnya. Lalu?
Kunci dan solusi persoalan tidak kondusifnya suasana pembelajaran siswa di sekolah ada pada mental dan manajemen persekolahan serta DANA (uang/pembiayaan) yang tidak memadai dari pemerintah. Di sekolah semestinya ramai dan riuh rendah hanya saat jam awal masuk, istirahat, dan pulang sekolah saja. Tidak ada istilah kelas kosong saat jam belajar karena ketidakadaan guru. Kendali itu di guru dan big bos sekolah.
oleh: urip.wordpress.com
No comments:
Post a Comment