Oleh : H. Raihan Iskandar, Lc., MM *)
SELAMA  tahun 2011 ini, berbagai pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang  pendidikan nasional patut dievaluasi secara kritis. Berbagai data  statistik menyebutkan, capaian kinerja pemerintah di bidang pendidikan  tak menunjukkan hasil yang signifikan.
Salah satu  data statistik yang memperlihatkan capaian kinerja Pemerintah di bidang  pendidikan ialah Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan  Manusia (IPM). Karena, salah satu komponen yang dinilai ialah dimensi  pendidikan yang mengukur tingkat baca tulis pada orang dewasa dan angka  partisipasi kasar jenjang SD, SMP, dan SMA. 
Menurut  laporan UNDP tahun 2010 dan 2011, nilai IPM Indonesia sedikit mengalami  kenaikan dari 0,600 di tahun 2010 menjadi 0,617 di tahun 2011. Akan  tetapi, peringkat IPM Indonesia justru mengalamai penurunan, yaitu dari  peringkat 108 di tahun 2010 menjadi peringkat 124 di tahun 2011. 
Ini  berarti, upaya pemerintah, khususnya di bidang pendidikan, masih  berjalan lambat di bandingkan dengan capaian negara lain. Berdasarkan  data Kemdikbud, sampai saat ini APK untuk tingkat SD telah mencapai  117%. Sementara, tingkat SMP mencapai 70-80% dan SMA baru mencapai 60%.
Laporan  UNESCO tahun 2011 ini pun memperlihatkan kinerja pendidikan Indonesia  yang tidak menggembirakan. Peringkat Indeks Pembangunan Pendidikan  Indonesia mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang menempati  peringkat 65 menjadi peringkat ke-69 dari 127 negara. 
Data  UNESCO ini menyebut, turunnya peringkat Indeks Pembangunan Pendidikan  Indonesia dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah dan tidak  melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Terdapat sekitar 10,268  juta siswa SD dan SMP (usia wajib belajar) yang tidak menyelesaikan  pendidikan sampai tingkat SMP. 
Sementara,  terdapat sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat  SMA. Faktor utama yang menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah  adalah ketidakmampuan masyarakat memenuhi biaya pendidikan anak-anak  mereka. Kemiskinan menjadi sebab utama angka putus sekolah dan tidak  melanjutkan ke jenjang berikutnya. 
Data  Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas (sekarang Kemdikbud)  menyebut saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50  juta. Sementara, data BPS tahun 2011 menyebut, terdapat 30,02 juta  masyarakat miskin dengan kriteria pendapatan Rp.600 ribu/bulan.  
Masih  tingginya angka putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan  kejenjang yang lebih tinggi, menunjukkan masih terbatasnya akses  pendidikan yang terjangkau dan bermutu bagi semua warga negara usia  sekolah. Padahal, dari tahun ke tahun, anggaran pendidikan nasional  telah mengalami kenaikan signifikan. 
Tahun  2010, APBN sektor pendidikan mencapai Rp225 triliun. Sementara, tahun  2011 mencapai angka Rp249 triliun. Untuk tahun 2012 nanti, APBN  pendidikan dialokasikan sekitar Rp286 triliun. Dana BOS, sebagai  instrumen yang menopang Program wajib belajar 9 tahun pun telah  ditingkatkan   sebelumnya Rp16 triliun tahun 2011 meningkat menjadi Rp23  triliun tahun 2012 nanti.
Nyatanya, kenaikan  anggaran BOS tidak bisa mencegah dari praktek pungutan yang masih marak  terjadi. Kenaikan anggaran pendidikan yang signifikan ternyata tidak  berbanding lurus dengan upaya penghentian siswa putus sekolah. 
Ironisnya,  berbagai kebijakan pemerintah justru turut berkontribusi terhadap  penutupan akses pendidikan yang terjangkau dan bermutu. Pemerintah  terkesan membiarkan berbagai komersialisasi dan pungutan yang marak  terjadi di dunia pendidikan. 
Inilah yang  membuat masyarakat miskin tak mampu menikmati layanan pendidikan. Dilain  pihak, pemerintah justru membuat beberapa kebijakan yang menghambat  akses layanan pendidikan bagi masyarakat. Kebijakan itu pun hanya  bersifat asesoris. 
Misalnya, Kebijakan  Pemerintah soal Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) untuk  jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah terkesan hanya ingin  memperlihatkan kemewahan dan kemegahan bangunan fisik. 
Lebih  dari itu, pemerintah pun "melindungi" kebijakan asesoris ini dengan  membuka celah pungutan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf  Internasional, khususnya pasal 16 ayat (1). 
Oleh  karena itu, kebijakan asesoris ini sangat berpotensi menghambat  penuntasan program wajib belajar 9 tahun, karena menghambat siswa miskin  atas layanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Alhasil, RSBI pun  menjadi sarana seleksi status sosial dan menciptakan segregasi sosial di  kalangan masyarakat. 
Kebijakan lain yang  bertentangan dengan semangat wajib belajar 9 tahun ialah Ujian Nasional  (UN). Penetapan nilai UN sebagai dasar seleksi masuk ke jenjang  pendidikan berikutnya dari SD ke SMP dan SMA, berpotensi menghambat  akses ke jenjang pendidikan berikutnya. Umumnya, siswa yang memiliki  sarana dan fasilitas yang memadai yang mampu memperoleh nilai tinggi.  Sementara, siswa miskin yang miskin sarana dan prasarana harus  tersingkir.
Ironisnya, fakta di lapangan  menunjukkan, tingginya nilai UN, tidak berkorelasi terhadap kualitas  pendidikan secara umum. Banyak rekayasa terjadi untuk menghasilkan nilai  UN yang tinggi. Kecurangan terjadi secara massif dan sistemik. Alhasil,  nilai UN yang tinggi hanya bersifat semu dan fatamorgana.
Di  luar kebijakan tersebut, berbagai kasus lain di dunia pendidikan  seperti tawuran pelajar dan mahasiswa, kasus-kasus moral yang melibatkan  siswa dan juga guru, menjadi indikasi semakin tidak jelasnya desain  pendidikan.
Padahal, tujuan penyelenggaraan  pendidikan sudah tertera secara jelas dalam UU Sisdiknas Pasal 3 yang  menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan  dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka  mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi  peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada  Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,  mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung  jawab.
Kasus lainnya, mekanisme penyaluran dana  BOS 2011 yang tidak tepat waktu dan pengelolaan serta penggunaannya yang  tidak transparan dan tidak tepat sasaran, menunjukkan tidak siapnya  birokrasi dan rendahnya kapasitas aparat penyelenggara di lapangan. Ini  sekaligus menunjukkan gagalnya reformasi birokrasi yang selama ini  didengungkan oleh pemerintah.
Berbagai capaian dan  desain kebijakan pendidikan, serta kasus-kasus yang terjadi dalam dunia  pendidikan nasional, memperlihatkan kepada kita bahwa pemerintah telah  kehilangan orientasi dalam  menyelenggarakan kegiatan pendidikan. 
Pemerintah  sepertinya tak mengerti harus kemana tujuan pendidikan ini diarahkan.  Kebijakan yang satu bertentangan dan dihambat oleh kebijakan pemerintah  yang lainnya. 
Oleh karena itu, Pemerintah harus  segera melakukan evaluasi secara menyeluruh menyangkut kebijakan  nasional pendidikan dan memiliki orientasi serta prioritas yang jelas  dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pendidikan nasional. 
Pemerintah  harus fokus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap warga  negara untuk bisa menikmati layanan pendidikan, secara adil, tanpa  diskriminasi. Pemerintah juga harus mengikis berbagai kebijakan yang  justru menghambat dan bertentangan dengan semangat program wajib belajar  dan hak rakyat atas pendidikan yang bermutu dan terjangkau. 
*) Penulis adalah Anggota Komisi X F-PKS DPR RI, Editor : esb/j
sumber : http://www.sumbaronline.com/berita-8210-refleksi-kebijakan-pendidikan-akhir-tahun-.html 
 

 
 
 
 
 
 
 
1 comment:
If you're trying hard to lose weight then you certainly need to get on this totally brand new custom keto plan.
To create this keto diet, certified nutritionists, fitness couches, and professional chefs have united to produce keto meal plans that are powerful, painless, money-efficient, and satisfying.
From their first launch in January 2019, hundreds of individuals have already transformed their figure and health with the benefits a professional keto plan can offer.
Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover eight scientifically-certified ones provided by the keto plan.
Post a Comment