Secara umum, peserta didik (siswa/mahasiswa) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok. Pertama, anak pintar dan kaya; kedua, anak pintar dan miskin; ketiga, anak kaya dan bodoh; dan keempat, anak miskin dan bodoh.
Pertama: Anak Pintar dan Kaya.
Kelompok ini bisa bebas memilih sekolah/kampus negeri yang berkualitas. Kesempatan pendidikan bagi anak orang kaya dan prestasinya bagus, sangat luas dan terbuka. Setiap sekolah/PTN yang dibiayai pemerintah, apalagi yang swasta, mereka sangat terbuka dengan anak-anak tersebut. Bahkan, atas dasar “pencarian bibit berkualitas”, PTN dan sekolah-sekolah negeri mulai SD hingga SMA, terus memburu anak-anak tersebut. Lebih dari itu, ada dalil manejemen pendidikan dimana “input yang baik, lalu dengan proses yang baik, maka output pun juga baik”. Atas dasar dalil ini, PTN/PTS dan sekolah “hanya” lebih tertarik dengan siswa kaya berprestasi. Buktinya, sekolah/kampus favorite lebih banyak dihuni oleh anak-anak orang kaya dan pintar.
Kedua: Anak Pintar dan Miskin.
Tipe kedua ini juga masih punya kesempatan sekolah atau kuliah, tapi dengan sedikit keberuntungan. Kini, memang banyak beasiswa dari pemerintah maupun perusahaan swasta bagi siswa berprestasi dan kesempatan inilah yang dibidik para mahasiswa atau orang tua siswa agar anaknya bisa sekolah. Namun, kesempatan ini masih perlu dewi fortuna. Informasi beasiswa harus terus dicari, tes-tes penyaringan perlu diikuti, bila perlu dengan silaturrahmi (baca: lobi). Tapi bagaimanapun juga, jumlah anak pintar dan miskin di sekolah unggulan sangat minim. Biasanya, mereka memang bisa lolos tes tulis dan uji administrasi. Tapi, pada tahap selanjutnya, saat tes wawancara yang sejatinya pihak sekolah ingin tahu tingkat ekonomi orang tua siswa, biasanya mereka gagal. Atau, seringkali anak-anak pintar dan miskin harus putus sekolah akibat ekonomi orang tuanya yang pas-pasan atau kesibukan mereka yang belajar sambil bekerja. Akhirnya, mereka menyerah di tengah jalan. Terutama, ketika sekolah meminta pungutan untuk seragam, buku/LKS, ektra-kulikuler dan sebagainya yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan, mereka langsung angkat tangan dan meratapi nasibnya: mengapa studi di sekolah/kampus favorit, jika terus sengsara? Bisa dibayangkan, bila keadaan ini terus terjadi, ke depan, dunia pendidikan akan kehilangan para generasi cerdas hanya gara-gara nasib mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Ketiga: Anak Bodoh dan Kaya.
Kelompok ketiga ini, kesempatan pendidikan yang menjadi haknya hampir sama dengan kelompok kedua di atas. Biasanya, anak-anak orang kaya dan otaknya tumpul, di zaman seperti sekarang, mereka tidak bisa diterima di sekolah negeri atau PTN favorite melalui jalur biasa yang menyeleksi calon siswa atau mahasiswa berdasarkan indeks prestasi dan hasil ujian penyaringan. Tapi, untuk urusan prestise, kini orang tua yang kaya raya masih bisa menyekolahkan anaknya yang bodoh itu di sekolah bertaraf internasional, di luar negeri, atau bisa juga di sekolah negeri favorite, asalkan melalui jalur luar biasa. Dengan kata lain, anak kaya dan bodoh masih bisa mencicipi lembaga pendidikan berkualitas, asalkan si anak masih mau melanjutkan sekolah dan orang tuanya tetap berambisi atas masa depan anaknya.
Keempat: Anak Miskin dan Bodoh.
Kelompok terakhir ini adalah kelompok yang biasanya terus berada pada kondisi yang menyedihkan dan pendidikannya berakhir “suul-khatimah”. Kesempatan pendidikan yang diterima anak-anak miskin dan bodoh amat terbatas. Mereka, jelas tidak bisa diterima di sekolah negeri atau kampus unggulan yang punya visi-misi mentereng untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak-anak yang tidak cerdas, hanya bisa meratapi nasibnya. Biasanya, orang tua mereka hanya mampu menyekolahkan anaknya di sekolah pinggiran, di madrasah kampungan, di kampus karbitan yang kualitasnya asal-asalan, tapi biayanya terjangkau. Anak-anak bodoh dan miskin, secara geonologis, seakan-akan telah digariskan miskin, bersekolah di sekolah miskin, dan lulus dalam keadaan miskin dengan kesempatan kerja yang sempit dan minim. Maka, sejak awal, mereka telah didesain menjadi miskin kuadrat.
Apakah benar, kelompok terakhir di atas, hakikatnya memang miskin dan bodoh? Jangan-jangan, kemiskinan yang mereka alami adalah kemiskinan struktural yang sengaja diciptakan oleh para praktisi pendidikan, para pengambil kebijakan dan pemerintah. Jika melihat madrasah swasta yang bangunannya reot, gurunya juga malas masuk karena gajinya sebulan 100-150 ribu, lalu siswanya dihuni oleh anak-anak miskin, maka jelas, kualitas pendidikan yang dihasilkan madrasah tersebut jauh dari harapan ideal. Mereka yang miskin harus belajar di sekolah swasta yang mereka sendiri menanggung biayanya.
Bandingkan dengan sekolah negeri atau PTN favorite yang diajar oleh para guru besar (maksudnya bergaji besar), yang lembaganya selalu dapat proyek dan bantuan, orang tua siswa/mahasiswa juga kooperatif bila dimintai sumbangan gedung, fasilitas juga terjamin, baik dari pemerintah dan sponsor, lalu para peserta didik pun terdiri dari para siswa pilihan yang telah diseleksi secara ketat, baik prestasinya maupun kemampuan ekonominya, maka sekolah atau perguruan tinggi semacam ini bagaikan surga yang hampir dipastikan mampu mencetak generasi masa depan yang berkualitas, berprestasi, mapan dan kaya.
Membandingkan kedua fakta di atas, maka jelas, ada kesenjangan yang cukup jauh dalam dunia pendidikan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah, para pengambil kebijakan pendidikan dan juga masyarakat. Kesenjangan atau ketidakadilan semacam ini, bila dibiarkan, maka hingga kapanpun pemerintah tidak akan mengurangi angka kemiskinan dan kebodohan. Selain itu, kewajiban memberi hak pendidikan yang sama bagi semua warga negara, hanya diberikan pada segelintir orang yang kebetulan cerdas dan punya uang. Sementara, anak-anak miskin dan bodoh, mereka akan tetap terpinggirkan dan hidup di tempat kumuh, kotor, sering tawuran dan sebagainya. Anak-anak ini, kelak juga akan melahirkan anak-anak yang miskin dan bodoh yang jumlahnya semakin tahun semakin besar. Jadi benar, bila Bang Haji Rhoma Irama bernyanyi: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Kini, bait itu perlu ditambah: “Yang pintar makin pintar, yang bodoh makin bodoh”.
pendidikan anak bodoh dan miskin
Written By Dhani oktaviar on Monday, August 23, 2010 | 8:03 PM
Labels:
pendidikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment