Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.
Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Segala sektor dalam birokrasi dapat dijadikan alat politik bagi penguasa. Tidak terkecuali juga bidang pendidikan.
Pendidikan menjadi basis pembentukan kualitas manusia suatu bangsa. Oleh karena itu pemerintah seharusnya betul-betul memperhatikan sektor ini sebagai aset masa dpan bangsa. Namun apa yang akan terjadi jika birokrasi pendidikan telah dimasuki oleh kepentingan politik praktis??
Refleksi politisasi birokrasi masa lalu
Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.
Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien.
Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.
Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan.
Politisasi Birokrasi Era Reformasi
Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara–negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.
Osborne dan Plastrik (1997)1 mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara–negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara–negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara–negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak–tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan– kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.
Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Politisasi birokrasi pada masa era oreformasi sudah menandai 100 hari kerja kabinet Gus Dur. Kasus di Departemen Kehutanan menjadi salah satu buktinya. Dalam kasus itu, Menteri Kehutanan yang juga ketua Partai Keailan mengangkat sekjen yagn jelas-jelas dipertanyakan visinya tentang tugas-tugas kementrian ini. Sekjen yang direkrut itu dinilai juga tidak memenuhi ketentuan administrasi kepegawaian, antara lain melewati batas usia yang ditentukan.
Pertimbangan ini hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang dipimpin Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai kabinet ”trima kasih”, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur mendukung kebijakan Menhut.
Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada masa reformasi ini juga sepat terjadi kekhawatiran akan adanya ”penjarahan” jabatan karir profesional menjadi jabatan politik oleh kalangan parpol. Jabatan politik yang diangp tidak representaif untuk bagi-bagi kekuasaan menjadi salah satu alasan. Posisi yang dilirik adalah pada tingkat eselon 1 dan 2 di tiap departemen. Dapat dibayangkan apa jadinya jika jabatan birokrasi tersebut diisi oleh orang-orang politik yang sarat dengan berbagai kepentingan politiknya. Seharusnya jabaan-jabaan itu diisi oleh orang yang memang ahli di bidangnya. Belum lagi persoalan tarik-menarik kepentingan di dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Aparat birokrasi yang berada di bawahnya akan seakin terfragentasi oleh kepentingan politik yang berbeda. Jika ini terjadi, birokrasi bukan lagi sebagai lembaga pelayan publik karena disibukkan dengan aktifitas politik di dalamnya.
Dengan masuknya kepentingan-kepentingan politik dalam tubuh birokrasi, maka praktek-praktek KKN pun akan semakin merajalela. Praktek KKN itu akan dibenarkan selama menguntungkan partai politik pemegang kekuasaan saat itu. Hal ini yang akan semakin merusak mentalitas birokrasi kita.
Jika politisasi pendidikan, apa yang akan trjadi?
Terminologi politisasi pendidikan memiliki banyak arti dan pengertian, namun yang dimaksud adalah menguasai aneka jabatan di lingkungan Departemen Pendidikan oleh partai politik sehingga kebijakan pendidikan yang diambil berpotensi dibumbui dengan kepentingan partai politik tertentu. Politisasi pendidikan merupakan salah satu upaya memperluas kiprah para politisi dalam jabatan eksekutif pada berbagai departemen dan kementerian pemerintah. Tegasnya, jabatan eselon satu seperti direktur jenderal (Dirjen), sekretaris jenderal (Sekjen), inspektur jenderal (Irjen), dan sebagainya, diusahakan untuk menjadi jabatan politik; yaitu suatu jabatan yang diisi oleh orang-orang politik.
Beberapa politisi sekarang ini sedang mengupayakan agar eselon satu dapat diformalkan menjadi jabatan politik melalui perubahan UU No.43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Upaya memformalkan eselon satu menjadi jabatan politik tentu berlaku untuk semua departemen, tidak terkecuali Departemen Pendidikan. Itu berarti para pemimpin Departemen Pendidikan secara langsung akan dikuasai para politisi atau orang-orang politik yang tidak ada jaminan menguasai tugas-tugas keeksekutifannya. Dan ketika itu sudah terjadi, itu berarti, setidaknya, enam pejabat eselon satu diisi oleh orang-orang politik; yaitu jabatan direktur jenderal manajemen pendidikan dasar dan menengah (Mandikdasmen), direktur jenderal pendidikan tinggi (Dikti), direktur jenderal pendidikan formal dan informal (PNFI), Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Sekretaris Jenderal Depdiknas, dan Inspektur Jenderal Depdiknas.
Apabila di antara menteri, Dirjen, Sekjen, dan Irjen tersebut -meskipun orang politik- memiliki kualifikasi dalam memimpin departemen serta kapabilitas dalam bekerja, kiranya tidak banyak menimbulkan masalah. Tetapi, jika yang mengisi jabatan tersebut adalah orang-orang yang tidak berkualifikasi dan tidak memiliki kapabilitas yang memadai, rusaklah bangunan pendidikan yang dengan susah payah telah kita susun selama bertahun-tahun.
Ilustrasi konkretnya: seorang Dirjen Mandiknasmen bisa memberlakukan kurikulum yang dianggap baik secara politis meskipun tidak baik secara akademis. Melalui kurikulum tersebut, anak didik secara sadar atau tidak sadar bisa diajarkan doktrin-doktrin yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan partai politiknya.
Dirjen Dikti pun demikian. Dengan peraturan yang diciptakan, bukan tidak mungkin para dosen dan mahasiswa yang mempunyai latar belakang politik sama dengan dirinya akan mendapatkan lebih banyak kemudahan dibandingkan dengan dosen dan mahasiswa lain pada umumnya.
Bagaimana dengan Dirjen PMPTK yang ''menguasai" guru sekolah di Indonesia? Sama saja! Dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan yang menggiurkan, maka akan banyak guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK yang dapat ''diarahkan" menuju kepentingan politik tertentu. Pendidikan adalah guru. Artinya, kalau guru dapat dikuasai, itu sama saja dengan seseorang tersebut telah menguasai pendidikan di negeri ini.
Seandainya pejabat eselon satu adalah orang-orang politik dari partai yang sama dan masih bekerja kompak pun sangat berpotensi merusak bangunan pendidikan nasional. Apalagi kalau para pejabat tersebut berasal dari partai yang berbeda, apalagi tidak kompak sebab sifat paternalisme rakyat Indonesia relatif sangat tinggi sampai sekarang ini. Artinya, afiliasi politis mereka cenderung ''mengekor" pemimpinnya. Hal ini juga akan terjadi di lingkungan Departemen Pendidikan meski ada aturan seorang PNS tidak boleh bermain politik praktis.
Bayangkan saja; kalau pejabat di Departemen Pendidikan nanti berasal dari partai politik yang berbeda, maka para staf dan karyawan akan terpecah belah ke berbagai kelompok dengan afiliasi politik yang berbeda pula.ini akan berimplikasi pada kualitas pelayanan terhadap civitas akademika.
Hal yan perlu diperhatikan adalah mencegah upaya politisasi pendidikan demi kelompok tertentu. Kebijakan pemerintah di bidang pndidikan tetap merupakan kebijakan politik. Namun persoalannya adalah bagaimana agar kebijakan itu dibuat dalam kerangka kemauan politik demi terciptanya arus pengetahuan dan informasi lebih terbuka. Perselingkuhan antara kekuasaan-kapitalisme-pendidikan perlu dicegah.
Menurut Muchlis Luddin (Suara Pembaruan, 28 April 2008: hal 14), Depdiknas menjalankan program semaunya dan cenderung berorintasi proyek. Dengan demikian, oleh elit politik, sejumlah program pendidikan dijadikan ajang kepentingan jangka pendek. Politisasi pendidikan dalam bentuk regulasi kebijakan di daerah dalam bntuk peraturan daerah yang cenderung diskriminatif dan jauh dari semangat pluralisme juga harus dihentikan. Menurut Darmaningtyas, tindakan yang memolitisasi kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan untuk kelompok tertentu merupakan salah satu penyebab terhambatnya perkmbangan kualitas pendidikan bangsa (Media Indonesia, 13 Mei 2005; hal 6-8).
Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Epilog
Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Hal ini lah yang terjadi pula pada dunia pendidikan. Politisasi birokrasi pendidikan masih terjadi pada reformasi ini.
Carut marutnya pendidikan nasional tercermin dari tidak adanya blueprint yang menjadi komitmn bersama antara lembaga Kepresidenan dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Arah pendidikan Indonesia berjalan tanpa landasan falsafah yan jelas, sehingga menyebabkan kekacauan. Ini disebabkan karena terlalu kuatnya kehendak intervnsi politis dalam soal pendidikan, sehingga dunia pndidikan bergantun pada interes kelompok penguasa.
Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan, dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.
***
Daftar Pustaka
Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru”, diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496.
Gaffar, Afan. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ismani. 2001, “Etika Birokrasi”, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 31 – 41.
Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
Media Indonesia, 13 Mei 2005; hal 6-8, “Politisasi Pendidikan Hambat Kualitas”.
Suara Pembaruan, 28 April 2008: hal 14, “Akhiri Politisasi Pendidikan”
sumber: http://duniapolitik-wibiono.blogspot.com/2010/05/mewaspadai-politisasi-birokrasi.html
No comments:
Post a Comment